mekanisme seleksi alam tidak selalu berjalan karena
Seleksialam bertindak dalam hal reproduksi individu yang membawa alel tertentu meninggalkan lebih banyak keturunan daripada individu lain dengan alel yang berbeda. Individu-individu ini berkembang biak lebih banyak dan karenanya meningkatkan frekuensi mereka. Proses seleksi alam Darwin menimbulkan adaptasi.
Tidaksemua mutasi dipengaruhi oleh lingkungan, ada beberapa mutasi yang disebabkan oleh kelainan genetis pada kromosom, dan materi genetik lainnya. Jadi, mekanisme seleksi alam tidak selalu berjalan karena setiap mutasi menghasilkan variasi genetik, yang tidak selalu dibebani seleksi alam. Jawaban: E 6.
Dalamtulisan saya Anda Tahu Evolusi?, beberapa komentarnya menjadikan saya menuliskan judul ini Seleksi Alam Tidak Menyebabkan Evolusi?, yang disebut
1 Lingkungan berpengaruh pada terhadap proses evolusi organisme. 2) Makhluk hidup beradaptasi melalui organ tubuhnya. 3) Perubahan organ tubuh diwariskan kepada keturunannya. 4) Seleksi alam memacu kepunahan organisme. Pernyataan yang berkaitan dengan teori Lamarck adalah . a. 1), 2), dan 3) d. 2) dan 4) b.
Evolusi adalah perubahan sifat organisme biologis yang diwariskan dari generasi ke generasi karena seleksi alam, mutasi, aliran gen, dan pergeseran genetik. Juga dikenal sebagai keturunan dengan modifikasi. Seiring waktu, proses evolusi ini mengarah pada pembentukan spesies baru ( spesiasi ), perubahan dalam garis keturunan
La Rencontre Allan W Eckert Fiche De Lecture. ARTIKEL HUKUM Virus penyebab flu, sudah lama dikenal oleh para kakek-nenek dan buyut kita, namun mengapa kita sebagai generasi penerusnya tidak juga kebal terhadap flu? Masih saja tidak sedikit diantara masyarakat kita yang mencampur-adukkan antara konsepsi “evolusi” terhadap konsep tentang “seleksi alam”, bahkan masih mengartikan “seleksi alam” atau yang berjulukan “the survival of the fittest” sebagai bermakna “siapa yang kuat maka dirinya-lah yang akan bertahan”—suatu salah-kaprah yang fatal, mengingat esensi dibalik teori Charles Darwin perihal “survival of fittest” bukan bermakna “siapa yang kuat maka ia yang bertahan”, namun siapa yang mampu beradaptasi maka ialah yang akan keluar sebagai pihak yang terus eksis melangsungkan hidupnya di muka Bumi ini. Sekalipun benar bahwa Darwin yang menjadi pencetus teori “survival of the fittest”, namun demikian adalah “tidak pada tempatnya” ketika kita kemudian mencampur-adukkan antara makna konsep “evolusi” dan “seleksi alam”. Keduanya saling terkait dalam suatu jalinan relevansi tertentu, namun maknanya tidak dapat saling-dipertukarkan satu sama lain. Timbul pertanyaan penting sekaligus sensitif di tengah-tengah masyarakat kita yang “melek literasi” namun ternyata tidak berbanding lurus dalam kemampuan bernalar mereka, sebagai contoh atas pertanyaan berikut “Apakah evolusi selalu berbanding lurus secara linear dengan upgrade terhadap daya tahan dan kemampuan fisik maupun kapasitas otak umat manusia si homo sapiens?” Singkat kata dari esensi pertanyaan di atas ialah, apakah evolusi identik dengan peningkatan kapasitas daya tahan dan daya “survival” tubuh kita? Jawaban dalam artikel singkat ini akan mengejutkan para pembaca, karena mengandung analisa yang diluar dugaan orang kebanyakan yang terlampau begitu “percaya diri” terhadap suatu mekanisme alamiah bernama “evolusi” yang selama ini konotasinya di kepala kita ialah identik dengan “upgrade diri”—suatu asumsi yang sangat berbahaya dan “kelewat percaya diri”. Banyak yang percaya, serangan wabah seperti pandemik virus menular mematikan seperti Corona Virus Disease 2019 COVID-19 adalah suatu momen dimana umat / ras manusia akan melakukan “upgrade diri” lewat evolusi, dimana “ia yang kuat maka ia-lah yang akan bertahan” sehingga seolah generasi penerus kita ialah hasil “seleksi alam” yang lebih kompeten, lebih kuat secara daya tahan fisik, serta lebih berkualitas dari segi bobot imunitas yang oleh para pakar disebut dengan istilah “the hard immunity”—suatu spekulasi yang menurut penulis ialah “kelewat spekulatif” serta “kelewat berani”, yang mana ketika semua spekulasi tersebut ternyata meleset, maka semuanya “sudah sangat terlambat” untuk memutar haluan kebijakan dan pendekatan terhadap sang virus mematikan, dimana nasib umat manusia menjadi ajang “pertaruhan”-nya. Sebelumnya, mari kita perjelas terlebih dahulu perbedaan paling prinsipil yang kontras antara “evolusi” dan “seleksi alam”. Logikanya, yang lolos seleksi alam ialah mereka yang lebih kuat, lebih kompeten, lebih adaptif, dan mereka yang memiliki kelebihan-kelebihan dibanding manusia rata-rata—termasuk mereka yang lebih cerdas dari segi kecerdasan intelektual IQ. Jika memang demikian adanya, mengapa hingga saat kini sekalipun telah demikian tuanya umur sejarah garis keturunan “homo sapiens”, “homo erectus”, serta “homo-homo” lainnya, masih juga kita jumpai manusia-manusia dengan IQ dibawah rata-rata atau yang biasa kita kenal dengan julukan “down syndrome”? Semestinya, mereka tidak lolos seleksi alam, karena seleksi alam hanya akan mendorong naluri para “gadis purba” untuk memilih, menyeleksi, menikahi, dan memiliki keturunan dengan “pria purba” yang kuat serta cerdik. Artinya, terdapat sesuatu yang keliru dalam tataran logika milik orang awam kebanyakan yang selama ini terlampau menyederhanakan kompleksitas teori evolusi lewat “lompatan logika” yang salah waktu dan salah tempat terhadap konsepsi “seleksi alam”, karena fakta empiriknya manusia masih saja mewarisi berbagai penyakit keturunan yang semestinya terputus lewat proses “seleksi alam” ini. Sadarkah Anda, “seleksi alam” berupa kaum gadis yang pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada pria yang “unggul” sesuai konteks zamannya ketika melangsungkan garis keturunan, adalah sebentuk versi lain dari “holocaust / genosida selektif” itu sendiri, karena manusia-manusia yang dikategorikan tidak “unggul” akan tersisih dan hilang dari “peredaran”? Tiada yang idealis-utopis ketika kita membicarkan “seleksi alam”, terlebih perihal “evolusi” sebagaimana akan dikupas secara cukup “kelam” lewat fakta-fakta empirik di bawah ini. Kedua, “seleksi alam” semestinya hanya menyisakan mereka yang mampu mengalami “upgrade diri”, namun fakta realitanya, “evolusi” pada era modern membuat tubuh umat manusia kian mengalami degradasi mengarah pada “downgrade diri” akibat ketergantungan pada teknologi sederhana, hingga teknologi mesin uap mekanis, maupun hingga ke tahap kecanggihan teknologi kendaraan bermotor dan elektrikal dimana ketergantungan manusia terhadap teknologi membuat terjadinya “downgrade diri” dari segi kapasitas daya tahan tubuh / fisik. Memangnya, menurut Anda, bagaimana para “pria purba” melakukan kompetisi antara para pria jantan di masa mereka, dengan memamerkan deretan kendaraan bermotor “kuda besi” mewah mengilap milik mereka? Mereka saling “adu otot” dalam arti harafiah yang sebenarnya, guna memenangkan hati “gadis purba” idaman mereka—sehingga jangan gunakan logika atau kacamata milik “gadis modern ala mall” pada konteks zaman purbakala. Setidaknya, “gadis purba” cukup puas diberikan hadiah bunga mawar liar yang dipetik oleh sang “pria purba” bertubuh macho-jantan. Pada era purbakala atau yang biasa kita sebut sebagai “zaman batu”, manusia “klasik” yang menjadi nenek-moyang kita betul bahwa masih melangsungkan proses “evolusi” berupa penguatan fisik alias “upgrade daya tahan dan kekuatan fisik”, karena konon para “wanita purba” hanya menyukai dan memfavoritisasi “pria purba” yang kuat dari segi fisik seperti berbadan besar dan kekar, mampu berburu dan mengejar kijang-rusa, mampu bertarung dengan harimau ganas bertarif panjang, mampu bergulat dengan gajah-marmut, hingga mampu menggotong batu perkamen seperti dalam kisah kartun “Asterix dan Obelix”. Namun, saat era berubah menjadi era dengan kecepatan digital dimana motor penggeraknya ialah listrik-elektrikal dan minyak bumi sebagai bahan bakar mekanistiknya hingga tenaga nuklir sebagai pendorong laju pergerakan mobiliasi manusia, “wanita modern” melakukan “seleksi alam” dengan hanya memilih “pria modern” yang makmur dari segi ekonomi—sekalipun bisa jadi sang pria memiliki tubuh yang lemah, penyakitan, ringkih, dan mudah jatuh sakit. Klise, namun itulah realita masa kini—selamat datang dalam dunia modern, dan ucapkan selamat tinggal pada “logika purba”. Karenanya, mengidentikkan “evolusi” dengan “upgrade diri”, merupakan logika zaman purbakala yang sudah tidak relevan untuk dipakai pada era modern ini alias secara salah waktu “masih berpola pikir secara terbelakang”. Bahkan, pada era yang kian canggih ini, para gadis-gadis muda lebih menyukai pria-pria yang memiliki wajah-perangai feminim layaknya seorang perempuan yang jauh dari kesan maskulin, memakai anting, wajah yang mulus tiada bekas-bekas luka atau lecet, tangan yang tiada bekas tanda-tanda pertarungan dengan hewan buas, rambut yang tersisir rapih, berbaju mulus tanpa satupun benang yang kusut, memakai pengharum tubuh, bahkan mungkin juga memakai lipstik dan bedak ?, sehingga menjadi kontras dengan versi zaman purbakala, pria yang kian maskulin kian digemari dan menjadi idola / pujaan paling populer para gadis-gadis muda yang serba histeris ketika berjumpa di panggung versi konser purba, tentunya. Tampaknya, dan celakanya, pemerintah serta rakyat kita justru menggunakan logika zaman purbakala tersebut ketika menghadapi serangan wabah seperti pandemik COVID-19, seolah hendak berkata, biarkan saja rakyat kita terpapar COVID-19, agar semua rakyat kita memiliki daya tahan serta imunitas yang lebih “hard”—tiada yang lebih celaka daripada spekulatif dengan memakai logika zaman “batu” ini oleh pemerintahan kita di era modern ini. Apakah menurut Anda, semua lelucon “konyol” ini tidaklah lucu dipertontonkan oleh pemerintah kita terhadap rakyatnya sendiri? Kembali pada postulat pertama seperti yang sempat penulis singgung di awal, ketergantungan umat manusia di era modern ini terhadap kemudahan hidup yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi, mengakibatkan umat manusia ber-“evolusi’ berupa “downgrade” daya tahan dan kapasitas fisik—karenanya pula, “mutasi-engineering” dapat direkayasa dengan faktor merancang kebiasaan hidup warga negara suatu negara, semisal memanjakan warganya dengan mobilisasi penduduk tanpa gerak kaki berupa berjalan, sama artinya melemahkan kualitas fisik lahiriah generasi penerus yang akan menjadi penduduknya. Yang selama ini menjadi cara kerja atau mekanisme yang bekerja dibalik “evolusi”, ialah suatu sifat yang bernama “adaptif”—artinya, ketika umat manusia tidak lagi mendapati adanya tuntutan untuk memiliki kepadatan tulang yang padat, tubuh yang kokoh, otot yang sekeras baja, stamina yang super untuk mengejar mangsa buruan, perut yang mampu mencerna makanan tidak higienis, hingga ketajaman mata dalam menargetkan mangsa buruan di hutan, maupun kekuatan fisik menghadapi panas dan dinginnya cuaca tanpa tempat berteduh yang memadai, hingga juga tuntutan untuk menimba air dari sumber air di kejauhan menuju kediamannya yang sering kali dibatasi oleh bukit-bukit dan gunung-gunung, akibatnya “evolusi” membawa umat manusia ke dalam suatu garis yang bernama “penurunan daya tahan tubuh fisik” sebagai hasil evolusinya. Sebelum nenek-moyang kita mengenal konsep bertani, mereka hidup dari berburu, dan sama sekali tidak memahami tentang ancaman parasit dan cara merebus daging mentah hasil buruan mereka hingga matang, namun nenek-moyang kita mampu bertahan hidup akan tetapi kita saat kini yang telah mengalami “penurunan daya tahan tubuh fisik”, jangan pernah menirunya. Kabar “buruk” untuk sebagian kalangan orangtua yang “over protective”, seorang pakar virus virolog di Indonesia mengakui tanpa sedikit pun membantah, bahwa rata-rata korban jiwa COVID-19 ialah mereka yang selama ini merawat dirinya dengan pola gaya hidup serba “higienis” sehingga daya tahan dan daya tangkal virus dalam tubuhnya tidak terbentuk akibat kurang terpajan virus dan bakteri sepanjang hidupnya hingga usia dewasa—itulah ketika, ajaran tentang pentingnya higienis yang diajarkan kepada kita selama di bangku sekolah menjadi kontraproduktif terhadap tujuan “seleksi alam” dalam kaitannya dengan “evolusi upgrade”. Ironisnya, anak-anak zaman modern lebih kerap bermain di dalam ruang bersih dengan mesin berupa televisi dan konsol video game, bukan bermain-main di kolam berlumpur layaknya kakek-nenek mereka. Betul bahwa nenek-moyang kita juga mengalami serangan wabah mematikan. Namun perlu kita ingat betul dan tidak boleh kita lupakan, nenek-moyang kita masih melangsungkan evolusi berupa “upgrade diri”, dimana bahkan mereka mampu bertahan mengkonsumsi air dan makanan yang tidak higienis tanpa resiko terserang diare akut. Karenanya, bahkan wabah mematikan semacam COVID-19 sekalipun, tidak akan membuat nenek-moyang kita punah karena memiliki bekal berupa modal tubuh fisik yang kuat dan kian menguat antibodinya. Celakanya, COVID-19 melanda umat manusia modern dikala sedang terjadi “downgrade diri” secara menukik akibat mekanisme “evolusi-adaptif” sesuai gaya hidup semesta-manusia itu sendiri. Bila merujuk pada sejarah, sejarah “evolusi downgrade diri” sejatinya mulai terjadi ketika era “manusia nomaden” mulai beralih menjadi “manusia bertani” yang tinggal menetap. Kemudian mengalami “evolusi downgrade diri” yang lebih dramatis ketika manusia mulai mengenal apa yang kita sebut sebagai “rumah permanen”, dimana mereka terlindungi dari hewan buas liar yang dahulu kala membuat nenek-moyang kita selalu menaruh waspada sehingga panca-indera nenek-moyang kita demikian tajam, peka, senantiasa terasah, serta tangguh—sekalipun nenek-moyang kita mungkin asing ketika diminta “cuci tangan sebelum makan”. Ketika seluruh umat manusia mulai diperkenalkan pada konsep “rumah permanen”, kian runtuhlah daya tahan fisik manusia menuju “evolusi downgrade diri”. Konsep rumah permanen, sudah ada sejak ribuan tahun lampau, yang artinya proses “evolusi” manusia selama ribuan tahun ini pula bergerak dalam bentuk kurva yang bergerak menurun ke bawah setelah sempat menanjak keatas yang pada puncaknya pada era sebelum / pra dikenalnya konsep rumah permanen dari batu dengan plester dari semen. Kemampuan manusia modern untuk berburu, kalah jauh bila dibanding dengan dominasi nenek-moyang kita dalam menaklukkan keganasan alam. Manusia modern, berkat “evolusi” ingat selalu, “evolusi” dapat mengarah pada “upgrade” maupun “downgrade”, kian “cengeng”, lemah, manja, serta ketergantungan pada berbagai hal berupa hal-hal eksternal dirinya seperti kendaraaan bermotor, listrik, dan alat-alat otomatisasi-mekanistik lainnya. Nenek-moyang kita mencukupi kebutuhan gizi dan nutrisinya dengan makanan-makanan yang sangat sederhana proses pengolahannya atau bahkan tanpa pengolahan sama sekali, bahkan tanpa mencucinya terlebih dahulu. Sebaliknya, anak-anak muda zaman modern, akan mengeluh dan menuntut “ayam goreng kriuk, jika tidak maka ogah makan”. Namun juga, jangan pernah sebagai “manusia modern”, makan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan, karena daya tahan tubuh kita telah mengalami kondisi “downgrade” dari sejak era gaya hidup modern kita kenal. Jika nenek-moyang kita masih dapat menyaksikan ulah dan tingkah-polah kita dari atas langit jauh di sana, maka pastilah mereka akan terkekeh-kekeh menertawai kita, generasi penerus mereka yang hidup di era modern digitalisasi ini, sebagai manusia-manusia “cengeng” serba “canggung” yang manja, pengeluh, pemalas, dan “perengek” disamping “lemah”. Ruang-ruang kamar dan dapur manusia modern, penuh sesak oleh berbagai botol-botol berisi berbagai kapsul suplemen makanan, sementara nenek-moyang kita tiada memiliki ketergantungan terhadap kesemua produk-produk penyebab ketergantungan demikian, fisik mereka tangguh, tidak se-“payah” fisik kita manusia zaman kini. Untuk memudahkan pemahaman agar para pembaca mampu membedakan antara konsepsi “evolusi” dan “seleksi alam”, tepat kiranya penulis mengilustrasikan seekor spesies hewan bernama buaya. Buaya, merupakan salah satu Dinosaurus yang masih tersisa dan masih eksis bertahan hingga masa kini, yang mampu bertahan melewati “seleksi alam” ketika dinosaurus-dinosaurus temannya yang lain gagal untuk bertahan sekalipun lebih kuat dan lebih besar tubuh fisiknya ketimbang sang “dinosaurus buaya” si amfibi yang “kalem-kalem sama buasnya dengan T-rex” ini. Namun, jangan bayangkan nenek-moyang buaya pada era Jurassic dahulu jutaan tahun lampau, ialah seekor “kadal” raksasa dengan panjang hanya satu atau dua meter panjangnya seperti buaya masa kini. Buaya pada era Jurassic, berukuran RAKSASA. Namun, demi melangsungkan strategi bertahan guna menghadapi “seleksi alam”, tuntutan inilah yang kemudian membuat anak-cucu buaya purba menyusutkan bobot tubuhnya menjadi kian mengecil secara gradual hingga akhirnya berevolusi secara berangsur-angsur menjelma menjadi buaya “versi mini” yakni seperti buaya-buaya yang saat kini dapat kita saksikan di kebun binatang. Kian mengecilnya volume tubuh buaya modern, membuat mereka berhasil bertahan dari “seleksi alam” ketika T-rex dan dinosaurus yang lebih kuat dan lebih besar lainnya justru gagal melewati dan gagal lolos dari “seleksi alam” era “ICE AGE”. Itulah tepatnya, perbedaan utama antara “seleksi alam” dan “evolusi”—keduanya memiliki relevansi, namun tidak saling berjalan linear. Gilanya “seleksi alam”, ia tidak selalu identik menyeleksi manusia yang lemah, terkadang perlu menjadi “kecil” / mengecil untuk dapat bertahan melewati “seleksi alam”. Ada harga yang harus kita bayarkan dibalik kenyamanan hidup berkat kemajuan teknologi. Semakin tinggi ketergantungan kita selaku bagian dari umat manusia pada kemajuan teknologi yang memanjakan, semakin kita kehilangan sifat karakteristik nenek-moyang kita, berupa kekuatan fisik. Tidak heran, bila orang-orang jenius lebih memilih berjalan kaki untuk bepergian sekalipun mereka memiliki kendaraan pribadi—mungkin akibat insting naluri warisan nenek-moyang yang masih mengendap pada otak para orang-orang jenius membuat mereka merasakan adanya kegentingan untuk terus melangsungkan serta melestarikan daya tahan tubuh yang kuat warisan nenek-moyang mereka. Hal ini bukanlah mitos, namun fakta yang terjadi sebagai ciri khas orang-orang jenius. Orang-orang Jepang, membiasakan diri untuk terus berjalan kaki dalam aktivitas kesehariannya, sejauh apapun lokasi yang mereka tempuh, adalah dalam rangka melangsungkan / melestarikan daya tahan tubuh warisan nenek-moyang mereka kepada generasi penerus. Anda boleh juga percaya ataupun tidak, orang-orang jenius setiap harinya selalu mandi dengan air dingin, sekalipun memiliki alat pemanas air dalam kediamannya. Anda boleh percaya ataupun tidak, orang-orang jenius sangat paranoid, penuh kekhawatiran yang kadang berlebihan sifat kecemasannya, tidak lain akibat residu naluri warisan nenek-moyang yang hidup pada era / zaman rumah non-permanen dimana sewaktu-waktu binatang buas bisa datang mengintai dan mengancam keselamatan keluarganya. Postulat kedua yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan, sekaligus sebagai pesan yang henda penulis sampaikan kepada para pembaca yang budiman, ada bahaya dibalik kemajuan teknologi bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pada satu sisi, kemajuan teknologi memudahkan hidup umat manusia yang kian cenderung menjadi malas serta lemah namun “serba sibuk” jika tidak “sok sibuk”, namun pada sisi lain kemajuan teknologi membuat umat manusia menjadi ketergantungan pada faktor-faktor di luar dirinya seperti kendaraan bermotor, mesin-mesin mekanistis-terotomatisasi, dan lain sebagainya. Semakin besar ketergantungan umat manusia pada kemajuan teknologi, maka “evolusi manusia” yang berlangsung ialah “evolusi downgrade diri”—itulah bayaran mahal yang harus kita bayar sebagai bayarannya, yang sialnya, akan diwarisi oleh generasi penerus kita, bukan oleh diri kita. Pada akhirnya, menurut prediksi penulis, mengingat kecenderungan tren daya tahan fisik manusia yang kian merosot dari kurva kelangsungan hidup sejarah umat manusia sejak zaman prasejarah, pada akhirya daya tahan fisik warisan nenek-moyang kita akan benar-benar punah pada beberapa generasi setelah kita yang hidup di era masa kini, ketika umat manusia benar-benar demikian mengalami ketergantungan terhadap teknologi, dimana kesemuanya menjadi serba terkomputerisasi, dimana gerak fisik menjadi sangat amat minim, sehingga “evolusi” membuat mereka menjadi lemah, tulang seperti “kerupuk”, gigi menyerupai spons yang tidak kuat mengunyah tulang kita menyukai makanan semacam kerupuk atau snack, ada kemungkinan nenek-moyang kita memiliki kebiasaan memakan pula tulang-tulang hewan buruan, mata yang besar seperti ikan namun rabun, pertandingan tinju dan sepak bola tiada lagi yang berminat karena tiada pemain yang sanggup berlaga dalam kompetisi, kulit yang setipis kulit bawang bahkan pembuluh darah dan jantung mereka dapat terlihat dari balik kulit, sehingga CT-Scan ataupun photo-rontgent tidak lagi dibutuhkan, sekalipun kapasitas otak mereka bertambah sekian “CC”, dan sekalipun mereka berhasil bertahan melewati “seleksi alam” berkat dibantu teknologi canggih, namun ketika generasi mereka diserang Virus Flu yang bagi kita saat kini tidaklah mematikan, namun akan membuat mereka tidak hanya meriang, namun juga tewas seketika. Itulah cara ketika, umat manusia menemui kepunahannya, warisan kekuatan fisik nenek-moyang mereka, benar-benar telah sirna tak tersisa akibat generasi masa kini tidak melestarikan warisan-warisan ketahanan / daya tahan dari nenek-moyang kita di “zaman batu”, suatu warisan yang jauh lebih berharga ketimbang kemajuan teknologi apapun, karena itulah yang akan dapat membuat kita bertahan dari serangan wabah saudara-saudara COVID-COVID lainnya dikemudian hari. Percaya atau tidak, mari kita buktikan sendiri dan menjadi bagian dari sejarah bagi para generasi penerus kita. Jika memang harapan tentang “hard immunity” akan terjadi sebagai solusinya, maka mengapa Virus HIV maupun Virus penyebab penyakit Demam Berdarah yang telah menghantui umat manusia selama puluhan tahun, tidak kunjung ditemukan vaksin maupun terbentuk antibodi alaminya? Kita perlu selalu mengingat, evolusi dapat membuat manusia menjadi lebih kuat ataupun lebih lemah. Namun, bukan hanya manusia yang berevolusi. Sang virus pun turut berevolusi bersama perjalanan sejarah umat manusia, bahkan evolusinya mudah ber-mutasi jauh lebih cepat dan lebih masif ketimbang manusia, menjadi lebih jinak atau sebaliknya menjadi semakin ganas, semakin patogen, semakin menular, serta semakin mematikan. Mungkinkah ini akhir dari peradaban umat manusia menjelma hegemonitas makhluk yang berukuran tidak lebih besar dari sel kulit kita? Sama seperti ketika kita menemukan fakta bahwa dunia ini ternyata berbentuk bundar, bukan sebaliknya, semua adalah keniscayaan. © Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.
Seleksi alam adalah perbedaan kemampuan untuk hidup dan reproduksi dari suatu individu yang diakibatkan oleh perbedaan kecocokan fenotipe yang dimiliki organisme tersebut dengan lingkungan. Ini adalah mekanisme kunci evolusi, perubahan karakteristik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Charles Darwin adalah orang yang mempopulerkan istilah "seleksi alam" serta membandingkannya dengan seleksi buatan, yang menurutnya disengaja, sedangkan seleksi alam tidak.[1] Bagian dari seri Biologi mengenai Evolusi Pengenalan Mekanisme dan Proses Adaptasi Hanyutan genetika Aliran gen Mutasi Seleksi alam Spesiasi Riset dan sejarah Bukti Sejarah evolusi kehidupan Sejarah Sintesis modern Efek sosial Teori dan fakta Keberatan / Kontroversi Bidang Kladistika Genetika ekologi Perkembangan evolusioner Evolusi manusia Evolusi molekuler Filogenetika Genetika populasi Portal Biologi lbs Variasi ada dalam semua populasi organisme. Hal ini terjadi karena mutasi acak yang muncul dalam genom organisme individu, sehingga keturunan mereka dapat mewarisi mutasi tersebut. Sepanjang kehidupan suatu individu, genom yang dimiliknya akan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga menyebabkan variasi sifat. Lingkungan genom mencakup zat kimiawi disel, sel lain, individu lain, populasi, spesies, serta lingkungan abiotik. Lingkungan ini akan menentukan mana perubahan genom yang akan menguntungkan dan mana yang merugikan. Karena individu dengan varian sifat yang menguntungkan terhadap lingkungannya cenderung bertahan dan bereproduksi lebih banyak daripada individu dengan varian lain yang kurang menguntungkan, maka populasi untuk varian sifat tersebut berkembang. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi termasuk seleksi seksual sekarang sering dimasukkan dalam seleksi alam dan seleksi fekunditas.[2] Seleksi alam bekerja berdasarkan fenotipe, ciri-ciri organisme yang sebenarnya berinteraksi dengan lingkungan, tetapi genetik dapat diwariskan dari setiap fenotipe yang mengkodekan fenotipe tersebut dan genetik individu tersebutlah yang mengalami keuntungan reproduktif sehingga gen suatu sifat dapat menjadilebih umum dalam suatu populasi. Seiring waktu, proses ini dapat menghasilkan populasi yang berspesialisasi untuk relung ekologis tertentu evolusi mikro dan pada akhirnya dapat menghasilkan spesiasi munculnya spesies baru, evolusi makro .Dengan kata lain, seleksi alam adalah proses kunci dalam evolusi suatu populasi.[3] Seleksi alam adalah landasan biologi modern. Konsep tersebut diterbitkan oleh Darwin dan Alfred Russel Wallace dalam sebuah presentasi makalah bersama pada tahun 1858, dielaborasi dalam buku berpengaruh Darwin tahun 1859 Tentang Asal Usul Spesies dengan Cara Seleksi Alam ,atau Pelestarian Ras Favorit dalam Perjuangan untuk Kehidupan . Dia menggambarkan seleksi alam dengan menggunakan analogi dengan seleksi buatan, sebuah proses dimana hewan dan tumbuhan dengan sifat-sifat yang diinginkan oleh manusia secara sistematis dikembangbiakkan. Konsep seleksi alam awalnya berkembang tanpa adanya teori hereditas yang valid; pada saat tulisan Darwin, sains belum mengembangkan teori genetika modern. PenyatuanTeori Evolusi Darwin dengan penemuan-penemuan berikutnya dalam genetika klasik membentuk sintesis modern pada pertengahan abad ke-20.[4] Setelah itu, genetika molekuler ditambahkan sehingga membentuk bidang baru, yaitu biologi perkembangan evolusioner, yang menjelaskan evolusi pada tingkat molekuler. Meskipun genotipe perlahan-lahan dapat berubah lewat pergeseran genetik secara acak, seleksi alam tetap menjadi penjelasan utama untuk evolusi adaptif.
Seluruh makhluk hidup yang ada di bumi saat ini merupakan hasil dari seleksi alam. Alam mempunyai cara untuk menyaring dan mengatur segala sesuatu yang ada di dalamnya. Kehidupan makhluk hidup tidaklah statis, melain selalu berubah atau dinamis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang menimbulkan proses yang disebut adaptasi dan menjadi evolusi melalui seleksi alam. Pengertian Seleksi AlamDampak Seleksi AlamFaktor Seleksi Alam1. Suhu2. Makanan3. Cahaya Matahari4. HabitatSeleksi Alam Menyebabkan Kepunahan1. Harimau Jawa Panthera tigris sondaica2. Harimau Bali Panthera tigris balicaSeleksi Alam Menghasilkan Spesies Baru1. Katak Megophrys lancip2. Cicak Cyrtodactylus tanahjampea3. Burung Myzomela irianawidodoaePengertian Teori EvolusiTeori Evolusi Menurut DarwinEvolusi Burung Finch Seleksi alam berkaitan erat dengan teori evolusi, yakni makhluk hidup yang tidak mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan maka akan punah. Makhluk hidup yang menghuni bumi saat ini ialah makhluk hidup yang mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan sesuai habitatnya dan mampu bersaing serta mampu mempertahankan hidupnya. Secara etimologi, seleksi alam adalah kemampuan alam untuk menyeleksi organisme yang hidup di dalamnya. Organisme yang berhasil melalui proses filter alam hanyalah organisme yang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan, proses atau mekanisme ini terjadi selama berjuta-juta tahun secara bertahap. Dampak Seleksi Alam Seleksi alam memiliki dampak besar bagi kelangsungan hidup suatu organisme makhluk hidup. Bagi organisme yang tidak mampu melewati proses seleksi alam, maka populasinya akan berkurang dan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies. Seleksi alam juga memberikan dampak munculnya spesies-spesies baru, karena dengan adanya adaptasi yang dilakukan makhluk hidup, maka akan menciptakan keanekaragaman makhluk lainnya. Faktor Seleksi Alam Proses seleksi alam dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain 1. Suhu Temperatur atau suhu merupakan salah satu hal utama yang menentukan suatu organisme mampu bertahan hidup atau tidak. Adanya seleksi alam akan menuntut makhluk hidup untuk menyesuaikan dengan suhu habitatnya, misalnya hewan pada daerah dingin akan berbulu tebal. 2. Makanan Ketersediaan makanan merupakan syarat makhluk hidup dapat bertahan hidup. Jika suatu organisme tidak memiliki cadangan makanan, maka akan mati kelaparan. Oleh karena itu terbentuklah rantai makanan secara alami, dimana organisme yang lemah akan berangsur punah seiring berjalannya waktu. 3. Cahaya Matahari Cahaya matahari sangat penting bagi keberlangsungan hidup organisme, contohnya pada tumbuhan. Tumbuhan memerlukan cahaya matahari untuk fotosintesis dan menghasilkan makanan dengan bantuan cahaya matahari. Fotosintesis merupakan proses berubahnya karbondioksida dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Tumbuhan yang kekurangan cahaya matahari akan mengalami fotosintesis yang tidak maksimal, sehingga berpengaruh terhadap oksigen yang dihasilkan dan dimanfaatkan oleh organisme lainnya. 4. Habitat Habitat merupakan tempat tinggal makhluk hidup. Dalam habitat ini tersedia sumber-sumber pendukung kehidupan, seperti air, sumber makanan, tempat berlindung dan lain sebagainya. Kerusakan lingkungan akibat penebangan secara liar akan merusak habitat berbagai macam organisme, seperti harimau sumatera yang kini terdesak oleh manusia dan diperkirakan akan segera punah. Seleksi Alam Menyebabkan Kepunahan Kepunahan spesies dapat diakibatkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, baik akibat faktor alami maupun akibat ulah manusia seperti kegiatan perburuan dan alasan lainnya. Contoh hewan-hewan yang telah punah di Indonesia, antara lain 1. Harimau Jawa Panthera tigris sondaica Harimau merupakan hewan karnivora yang memiliki berbagai rumpun dan tersebar ke seluruh dunia. Di wilayah pulau Jawa, terdapat harimau jawa yang merupakan penghuni asli daerah jawa. Harimau jawa memiliki panjang 2,43 meter dan berat 100 kg hingga 141 kg untuk jenis kelamin jantan dan 75 kg hingga 115 kg untuk jenis kelamin betina. Commons Wikimedia Pada tahun 1950 populasi harimau jawa telah diketahui berkurang akibat terdesak oleh aktivitas manusia berupa pembukaan lahan pertanian dan ladang, serta perburuan. Hingga pada akhir 1979 diketahui sisa harimau jawa hanya 3 ekor dan selanjutnya pada tahun 1980 harimau jawa dinyatakan punah. Namun, hingga tahun 1990an masih banyak yang melaporkan mengenai keberadaan harimau jawa ini, akan tetapi pembuktiannya belum cukup kuat. 2. Harimau Bali Panthera tigris balica Di pulau Bali juga terdapat harimau asli bali, yaitu harimau bali. Harimau jenis ini masih satu rumpun dengan harimau jawa dan harimau sumatera. Diketahui harimau bali terakhir ditembak mati pada tahun 1925 dan hewan ini dinyatakan punah pada tanggal 27 September 1937. Berikut ini adalah berbagai hewan yang terancam punah di Indonesia NoNama SatwaDaerah Asal1AnoaPulau Sulawesi2Badak Jawa dan SumateraJawa & Sumatera3Burung Hantu Celepuk SiauSulawesi Utara4Burung Jalak BaliBali5Burung Trulek JawaJawa6Ekidna Moncong Panjang BaratPapua7Elang FloresLombok, Sumbawa, Pulau Satonda, Rinca, Flores dan Nusa Tenggara8Gagak BanggaiSulawesi9Gajah SumateraSumatera10Harimau SumateraSumatera11Kakaktua Jambul KuningKepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Bali, dan Timor12Kangguru Pohon WondiwoiPulau Papua13Katak Merah / Katak ApiTaman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak14Katak PohonGunung Ungaran, Semarang15KomodoNusa Tenggara Timur16Kura-kura Paruh BetetHutan Sulawesi17Macan Tutul JawaJawa18Monyet HitamSulawesi19Orang UtanSumatera dan Kalimantan20Pesut MahakamKalimantan Timur Seleksi Alam Menghasilkan Spesies Baru Proses panjang seleksi alam akan mendorong organisme beradaptasi dengan lingkungannya untuk bertahan hidup. Adaptasi dibagi mejadi 3 macam, yakni Adaptasi Morfologi adalah penyesuaian bentuk tubuh makhluk hidup sesuai dengan lingkungannya. Misalnya bentuk paruh dari berbagai jenis burung sesuai dengan Fisiologi adalah penyesuaian fungsi alat-alat tubuh makhluk hidup. Contohnya enzim selulase yang dihasilkan oleh hewan memamah Tingkah Laku adalah penyesuaian atau perubahan tingkah laku makhluk hidup, seperti bunglon yang dapat menyesuaikan warna kulit sama seperti lingkungannya. Akibat adanya adaptasi tersebut, maka akan tercipta spesies baru. Berikut ini adalah beberapa spesies baru yang ditemukan di Indonesia 1. Katak Megophrys lancip Katak unik ini memiliki hidung lancip. Katak lanci ditemukan oleh peneliti LIPI saat melakukan ekspedisi di kawasan Pegunungan Bukit Barisan pada tahun 2013. Setelah melalui proses identifikasi, penemuan spesies baru ini berhasil dipublikasikan di jurnal Zootaxa pada 3 Juli 2018 dan kemudian resmi memiliki nama ilmiah Megophyrs lancip. Selain berhidung lancip, ciri-ciri unik lain adalah adanya tanduk’ di kepala katak tersebut. Tanduk ini sebenarnya adalah bagian kulit yang mencuat. MONGABAY Katak ini memiliki kulit yang umumnya berwarna cokelat sesuai dengan lingkungan habitatnya yaitu di dedaunan kering yang berjatuhan agar sulit untuk terlihat. 2. Cicak Cyrtodactylus tanahjampea Cyrtodactylus tanahjampea merupakan spesies cicak baru yang ditemukan di Pulau Tanahjampea, Sulawesi Selatan. Panjang dari ujung moncong hingga membukanya kloaka cicak ini adalah 76,1 milimeter pada jantan dewasa dan 72,8 milimeter pada betina dewasa. Spesies cicak ini memiliki ekor yang lebih panjang daripada tubuhnya. Sama seperti katak lancip, penemuan spesies ini juga telah dipublikasikan di jurnal Zootaxa pada 29 Juni 2018. 3. Burung Myzomela irianawidodoae Pada Desember 2017 yang lalu, Presiden Joko Widodo memberikan izin penamaan spesies burung baru dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Burung tersebut diberi nama ilmiah Myzomela irianawidodoae dan resmi dipublokasikan di Jurnal Ilmiah Treubia Volume 44 Edisi Desember 2017. Mongabay Menurut Dewi Prawiradilaga, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, burung ini memiliki karakter dominan seperti panjang 11,8 cm, bobot 32 gram dan paruhnya berwarna hitam. Selain itu, ciri lain dari burung ini adalah warna mata cokelat gelap, kaki dan jari berwarna hitam dengan bantalan kuku berwarna kuning. Habitat burung yang namanya terinspirasi dari nama Ibu Negara hidup di lingkungan habitat hutan, semak belukar, kebun dan pohon yang berbungan. Burung ini mengonsumsi makanan pokok berupa nektar dari bunga pohon jati dan berada dalam status dilindungi. Pengertian Teori Evolusi Evolusi adalah perubahan sifat-sifat yang terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut terjadi karena variasi, reproduksi dan seleksi secara kombinasi. Teori Evolusi Menurut Darwin Menurut Charles Robert Darwin pada tahun 1859 melalui bukunya yang berjudul “On The Origin of Species“, menyatakan bahwa proses organisme berubah dari setiap perkembangan zaman akibat adanya perubahan sifat fisik atau perilaku yang diwariskan karena faktor seleksi alam. Teori evolusi oleh Darwin tersebut meliputi Tidak ada dua individu yang sama persisPertambahan makanan karena selalu terjadi kekurangan bahan makananPertambahan populasi tidak berlangsung terus menerusSetiap populasi dominan memperbanyak diri seperti deret ukur Pada bukunya, Darwin berpendapat bahwa seleksi alam dapat menyebabkan mamalia darat berubah menjadi ikan paus. Evolusi Burung Finch Charles Darwin melakukan penelitian terhadap burung finch di Kepulauan Galapagos, dimana selanjutnya dia mengembangkan teori evolusinya. Burung finch yang memiliki ciri berupa paruh berukuran sedang ternyata seiring berjalannya waktu paruh tersebut mengecil karena disesuaikan oleh sumber makanan yang berupa biji-bijian. Google Image Perubahan bentuk dan ukuran paruh tersebut menandakan bahwa spesies burung finch melakukan kompetisi atau persaingan untuk mendapatkan makanan sehingga melakukan evolusi. Evolusi burung finch ditandai dengan berubahnya bentuk paruh akibat proses seleksi alam. Sehingga perubahan tersebut diwariskan pada generasi selanjutnya hingga saat ini.
1. Mekanisme Terjadinya Evolusi Seleksi Alam Seleksi alam menyatakan bahwa makhluk hidup yang lebih mampu menyesuaikan diri beradaptasi dengan kondisi alam habitatnya akan mendominasi dengan cara memiliki keturunan yang mampu bertahan hidup. Sebaliknya, makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi akan punah. Sebagai contoh sekelompok rusa yang hidup di bawah ancaman hewan pemangsa seperti macan, harimau, singa, dan citah, secara alamiah rusa-rusa yang mampu berlari kencang dapat bertahan hidup dan berketurunan. Sebaliknya, rusa yang lemah, sakit-sakitan, dan tidak dapat berlari kencang akan mati dan tidak melanjutkan keturunan. Seleksi alam sebenarnya merupakan proses alamiah yang telah dikenal ahli biologi sebelum Darwin. Para ahli biologi waktu itu mendefinisikan seleksi alam sebagai mekanisme yang menjaga agar spesies tidak berubah tanpa menjadi rusak. Namun, Darwinlah orang pertama yang mengemukakan bahwa seleksi alam mempunyai kekuatan evolusi. Selanjutnya, Darwinmengemas teori Evolusi melalui seleksi alam dalam bukunya The Origin of Spesies, by Means of Natural Selection yang diterbitkan pada tahun 1859. Darwin menyatakan bahwa seleksi alam merupakan faktor pendorong terjadinya evolusi. Pernyataannya itu didasarkan pada pengamatannya terhadap populasi alami dunia. Dia mengamati adanya beberapa kecenderungan berikut jumlah keturunan yang terlalu besar over reproduction, jumlah populasi yang selalu konstan tetap, adanya faktor pembatas pertumbuhan populasi, dan perbedaan keberhasilan berkembang biak. Setiap spesies mempunyai kemampuan untuk menghasilkan banyak keturunan setelah dewasa. Melalui proses reproduksi, populasi makhluk hidup dapat meningkat secara geometrik. Setiap individu hasil perkawinan memungkinkan mempunyai variasi warna, bentuk, maupun kemampuan bertahan diri di lingkungan. Varian yang adaptif akan tetap hidup dan berkembang, tetapi spesies yang tidak adaptif akan punah. Beberapa faktor pembatas di alam yang mempengaruhi populasi di antaranya adalah makanan, air, cahaya, tempat hidup, dan sebagainya. Akibatnya, makhluk hidup harus berkompetisi dengan makhluk hidup lain untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas tersebut. Beberapa faktor pembatas lainnya yang cukup serius pengaruhnya terhadap pertumbuhan populasi yaitu predator, organisme penyebab penyakit, dan cuaca yang tidak menguntungkan. Tingkat kesuksesan perkembangbiakan juga menentukan pertumbuhan populasi makhluk hidup dan merupakan kunci dalam seleksi alam. Makhluk hidup yang paling adaptif adalah individu yang berhasil dalam perkembangbiakan. Sebaliknya, yang tidak berhasil akan mati prematur atau menghasilkan sedikit keturunan. Lebih jauh dalam bukunya itu, Darwin mengemukakan bahwa individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka dengan baik akan mewariskan sifat-sifat unggul kepada generasi berikutnya. Darwin menyatakan bahwa sifat-sifat unggul atau menguntungkan ini lama-lama terakumulasi dan mengubah suatu kelompok individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya. Berdasarkan proses inilah akan terbentuk spesies baru. Suatu contoh proses seleksi alam paling terkenal pada masa itu adalah mengenai populasi ngengat Biston betularia selama revolusi industri di Inggris. Pada awal revolusi industri di Inggris, kulit batang pohon di sekitar Manchester berwarna cerah. Hal ini mengakibatkan ngengat Biston betularia berwarna cerah yang hinggap pada kulit batang tidak mudah tertangkap burung pemangsa. Itulah sebabnya pada awal revolusi industri, populasi ngengat berwarna cerah lebih banyak daripada ngengat berwarna gelap. Keadaan itu berubah 180° setelah terjadi revolusi industri. Mengapa terjadi demikian? Lima puluh tahun kemudian, kulit batang pohon menjadi lebih gelap akibat polusi udara. Keadaan itu sangat menguntungkan ngengat berwarna gelap karena saat hinggap di pohon tidak terlihat oleh burung pemangsanya. Sebaliknya, ngengat berwarna cerah mudah dilihat oleh burung pemangsa. Hal ini mengakibatkan populasi ngengat berwarna gelap lebih besar daripada ngengat berwarna cerah. 2. Mekanisme Terjadinya Evolusi Mutasi Gen Peristiwa mutasi gen dapat tidak menyebabkan perubahan pembentukan asam amino sehingga tidak menimbulkan efek yang berarti. Namun, jika mutasi gen menyebabkan perubahan pembentukan asam amino maka fungsi gen tersebut juga berubah. Perubahan fungsi ini dapat diamati melalui kelainankelainan yang terjadi pada individu yang mengalami mutasi. Bagaimana peristiwa mutasi dapat menyebabkan terjadinya evolusi? Setiap sel makhluk hidup dapat mengalami mutasi setiap saat, tetapi tidak semua mutasi dapat diwariskan pada keturunannya. Mutasi yang terjadi pada sel soma sel tubuh tidak akan diwariskan. Setelah individu yang mengalami mutasi meninggal maka mutasi yang terjadi juga akan menghilang bersamanya. Sementara itu, mutasi yang terjadi pada sel-sel kelamin akan diwariskan pada keturunannya. Adanya bahan-bahan mutagen dalam gonad dapat menyebabkan terjadinya mutasi pada sel kelamin jantan sperma dan sel kelamin betina ovum. Dengan demikian, gen yang bermutasi akan selalu ada dalam setiap sel keturunan. Setiap spesies makhluk hidup memiliki sifat genotip dan fenotip fisik yang berbeda. Gen-gen yang menentukan fenotip individu tersimpan di kromosom dalam nukleus. Gen-gen sendiri tersusun dalam DNA asam deoksiribonukleat. Sementara itu, DNA disusun oleh nukleotida yang terdiri dari basa nitrogen, gula deoksiribosa, dan fosfat. Perubahan yang terjadi pada susunan kimia DNA dapat mengakibatkan perubahan sifat individu. Perubahan ini disebut mutasi gen. Sebagian besar mutasi bersifat merugikan karena mutasi dapat mengubah atau merusak posisi nukleotida-nukleotida yang menyusun DNA. Perubahan-perubahan akibat mutasi banyak menyebabkan kematian, cacat, dan abnormalitas, seperti yang dialami penduduk Hiroshima, Nagasaki, dan Chernobyl. Kadang-kadang mutasi pada sel kelamin dapat mengakibatkan timbulnya sifat baru yang menguntungkan. Bila sifat baru tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungannya maka individu tersebut akan terus hidup dan mewariskan mutasi yang dialaminya kepada keturunannya. Berdasarkan anggapan bahwa terdapat mutasi yang menguntungkan, muncullah teori Evolusi baru yaitu Teori Evolusi Sintetis Modern. Pada intinya teori ini memasukkan konsep mutasi pada teori Seleksi Alam Darwin. Oleh karena itu, teori ini juga dikenal sebagai Neodarwinisme. Teori ini berkembang pada 1930–1940. Jika mutasi selalu terjadi pada sel kelamin dari generasi ke generasi dapat menyebabkan susunan gen dalam kromosom generasi pendahulu sangat berbeda dengan generasi berikutnya. Peristiwa itu memungkinkan timbulnya individu atau spesies baru yang sangat berbeda dengan generasi pendahulunya. Menurut pendapat beberapa ilmuwan evolusionis, perubahan pada struktur kromosom yang bersifat menguntungkan akan mengakibatkan munculnya spesies baru. Kemunculan spesies baru yang lebih baik ini tergantung dari angka laju mutasi. Angka laju mutasi adalah angka yang menunjukkan jumlah gen yang bermutasi yang dihasilkan oleh suatu individu dari suatu spesies. Besarnya angka laju mutasi sebuah alel gen sebesar 1–10 untuk setiap pembelahan sel. 3. Frekuensi Gen dalam Populasi Frekuensi gen adalah frekuensi kehadiran suatu gen pada suatu populasi dalam hubungannya dengan frekuensi semua alelnya. Dalam genetika, populasi berarti kelompok organisme yang dapat saling kawin dan menghasilkan keturunan yang fertil. Misalnya dalam suatu populasi terdapat gen dominan A dengan alel gen resesif a. Perkawinan antara induk galur murni AA dengan aa, menghasilkan keturunan F1 dengan genotip Aa. Pada keturunan F2 menghasilkan perbandingan genotip atau keseimbangan frekuensi gen dalam populasi F2 = AA homozigot dominan Aa heterozigot aa homozigot resesif = 25% 50% 25% atau 1 2 1. Pada keturunan berikutnya F3 ternyata menghasilkan perbandingan genotip seperti keturunan F2, yaitu AA Aa aa = 1 2 1. Jadi, apabila setiap individu dari berbagai kesempatan melakukan perkawinan yang sama, yang berlangsung secara acak serta setiap genotip mempunyai viabilitas yang sama, perbandingan antara genotip yang satu dengan yang lainnya dari generasi ke generasi tetap sama. Perbandingan frekuensi gen dapat mengalami perubahan sehingga perbandingan frekuensi gen tidak dalam keadaan seimbang. Perubahan perbandingan frekuensi gen di dalam suatu populasi dapat disebabkan oleh mutasi, seleksi alam, emigrasi dan imigrasi, rekombinasi dan seleksi, isolasi reproduksi, dan domestikasi. Variasi genetik dalam populasi alamiah sempat membingungkan Darwin. Hal ini terjadi karena reproduksi sel belum dikenal. Akan tetapi, pada tahun 1908 kebingungan itu terjawab oleh Hardy seorang matematikawan Inggris dan G. Weinberg seorang fisikawan Jerman. Hardy dan Wienberg menyatakan bahwa dalam populasi besar di mana perkawinan terjadi secara random dan tidak adanya kekuatan yang mengubah perbandingan alela dalam lokus, perbandingan genotip alami selalu konstan dari generasi ke generasi. Pernyataan tersebut dikenal dengan hukum Perbandingan Hardy-Weinberg. Adanya perubahan keseimbangan frekuensi gen dalam suatu populasi memberi petunjuk adanya evolusi. Hukum Hardy-Weinberg berlaku jika memenuhi beberapa persyaratan berikut. a. Tidak terjadi mutasi. b. Terjadi perkawinan secara acak. c. Tidak terjadi aliran gen baik imigrasi maupun emigrasi. d. Populasi cukup besar. e. Tidak ada seleksi alam Secara matematis hukum Hardy-Weinberg dirumuskan sebagai berikut. p + q2 = p2 + 2pq + q2 = 1 Sebagai contoh alela gen A dan a, maka menurut persamaan di atas p2 = frekuensi individu homozigot AA 2pq = frekuensi individu heterozigot Aa q2 = frekuensi individu homozigot aa Bagaimana penerapan persamaan tersebut dalam menjawab permasalah genetika populasi? Perhatikan contoh berikut. Misalnya dalam sebuah desa terdapat populasi 100 orang, 84% penduduk lidahnya dapat menggulung dan 16% lidahnya tidak dapat menggulung. Tentukan berapa jumlah penduduk yang heterozigot dan homozigot jika genotip penduduk yang lidahnya dapat menggulung Rr atau RR dan lidah yang tidak dapat menggulung bergenotip rr. Penyelesaian RR = p2, Rr = 2pq, dan rr = q2 Frekuensi gen r Rumus p2 + 2pq + q2 = 1 r2 = q2 = 16% = 0,16 Oleh karena frekuensi untuk seluruh alela harus 1, maka p + q = 1 sehingga frekuensi alela dominan p dapat dihitung p = 1 – 0,4 = 0,6 => p2 = 0,36 Selanjutnya 2pq = 2 × 0,6 × 0,4 = 0,48 Jadi, perbandingan antara genotip dominan homozigot RR, heterozigot Rr, dan resesif homozigot rr adalah 36 48 16, sedangkan frekuensi gen R = 0,6 dan gen r = 0,4. 4. Hubungan Waktu dengan Perubahan Sifat Organisme Di depan telah dijelaskan bahwa evolusi terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu seleksi alam dan mutasi gen. Menurut teori Evolusi, pada awalnya makhluk hidup tercipta tidak sempurna atau dalam kondisi primitif. Seiring dengan berjalannya waktu, makhluk hidup purba itu mengalami kemajuan-kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu diperoleh karena adanya variasi genetik dalam populasinya. Variasi itu diperoleh melalui proses perkawinan. Individu-individu yang kebetulan mewarisi sifat unggul dari induknya akan tetap hidup dan dapat melangsungkan kehidupannya. Sebaliknya, individu yang tidak mewarisi sifat unggul akan tersisih dalam persaingan. Akibat paling parah dari individu ini akan mati dan akhirnya punah. Hal ini menunjukkan bahwa faktor seleksi alam sangat menentukan keberlangsungan hidup suatu individu. Umur bumi diperkirakan hingga saat ini berkisar juta tahun. Selama itu pula di muka bumi terjadi perkembangan berbagai populasi dari berbagai jenis makhluk hidup. Berbagai jenis makhluk hidup itu diperkirakan berasal dari satu individu sebagai nenek moyang. Melalui proses evolusi, suatu populasi mengalami perubahan sifat misalnya variasi genetik dan mutasi sehingga dicapai bentuk makhluk hidup seperti sekarang. Diagram filogeni Chordata Berdasarkan Gambar disamping, di depan tampak bahwa Deuterostoma merupakan nenek moyang Chordata yang diperkirakan muncul pada periode Cambrian di zaman Paleozoikum 544 juta tahun yang lalu. Seperti telah Anda pelajari di kelas X, bahwa filum Chordata memiliki ciri khas adanya notochord atau chorda dorsalis yang memanjang di sepanjang tubuh sebagai sumbu tubuhnya. Diperkirakan, pada awalnya Deurostoma berkembang menjadi Urochordata, Cephalochordata, Agnatha, dan Placodermi sekarang telah punah. Perkembangan ini terjadi pada periode Cambrian dari tahun 544 sampai 505 juta tahun yang lalu. Bahkan Urochordata tidak mengalami perkembangan sejak zaman Cambrian hingga saat ini. Klasifikasi Primata Ordo Primata dibedakan menjadi 13 familia Cheirogaleidae2. Lemuridae lemur3. Indriidae4. Daubentoniidae5. Lorisidae6. Galagidae7. Tarsiidae Tarsius8. Callitrichidae9. Cebidae kera dunia baru10. Cercopithecidae kera dunia lama11. Hylobatidae gibon12. Pongoidae orang utan13. Hominidae gorila, simpanse, dan manusia Pada periode Ordovician masih di era Paleozoikum, garis perkembangan Chordata bercabang menjadi dua yaitu menjadi ikan bertulang rawan Chondrichthyes dan ikan bertulang sejati Osteichthyes. Perubahan sifat yang mencolok pada kedua kelompok ini adalah adanya insang atau derivat insang pada Osteichthyes. Selanjutnya, pada akhir periode Silurian 438–408 juta tahun yang lalu, muncul kelompok hewan yang mempunyai kaki yaitu kelompok Reptilia. Kelompok ini berkembang dari garis ikan bertulang sejati Osteichthyes. Pada akhir periode Carboniferous dari garis Amphibia muncul hewan berambut yaitu kelompok Mammalia. Masih dari garis Mammalia, pada periode Jurassic muncul kelompok baru hewan berbulu yaitu Aves. Hewan-hewan yang kita temui pada masa lampau purba, tentu saja berbeda dengan hewan-hewan yang kita jumpai sekarang, walaupun hewan-hewan itu berasal dari kelompok yang sama. Perhatikan beberapa rekonstruksi hewan-hewan Reptilia yang diperkirakan hidup pada periode Jurassic. Bandingkan hewan-hewan tersebut dengan hewan-hewan modern. Jadi, selama penciptaan makhluk hidup di bumi telah terjadi proses evolusi dalam waktu yang lama. Proses itu menyebabkan terbentuknya spesies-spesies baru yang berbeda sama sekali dengan nenek moyangnya, seperti yang kita lihat pada saat ini. Diagram filogeni Chordata lihat halaman sebelumnya belum menampakkan adanya spesies manusia, padahal manusia tersebar di seluruh dunia sebagaimana hewan dan tumbuhan. Bagaimanakah spesies manusia muncul? Manusia diperkirakan baru muncul sekitar 10 juta tahun yang lalu. Nenek moyang manusia diduga merupakan kelompok Primata yang muncul sekitar 60 juta tahun yang lalu. Perhatikan diagram filogeni Primata berikut. Berdasarkan gambar di atas, spesies manusia berada satu garis dengan kemunculan orangutan sekitar 15 juta tahun yang lalu. Selanjutnya, sekitar 10 juta tahun yang lalu garis orang utan bercabang menjadi tiga yaitu kelompok gorila, simpanse, dan manusia. Perlu diketahui bahwa gorila, simpanse, dan manusia dikelompokkan dalam satu familia yaitu Hominidae. Para ilmuwan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tersebut melalui penggalian fosil dan analisis terhadap fosil-fosil yang ditemukan. Fosil-fosil yang ditemukan dari beberapa lokasi penggalian diduga berasal dari salah satu anggota Primata yaitu dari familia Hominidae. Berikut merupakan tabel penemuan fosil-fosil yang diduga merupakan nenek moyang manusia. Berdasarkan ciri-ciri fisik bangsa Indonesia, diperkirakan hasil pewarisan dari bangsa Australomelanesid. Bangsa ini keturunan dari Homo wajakensis. Penemuan Fosil yang Diduga Anggota Familia Homidae No. Nama Fosil Umur/Rentang Hidup Tinggi Tubuh Lokasi Penemuan 1 Australopithecus ramidus 4,4 juta tahun 1,30 – 1,55 m Ethiopia 2 Australopithecus afarensis 3,18 juta tahun 1,05 – 1,50 m Ethiopia 3 Australopithecus africanus 3 juta tahun 1,14 – 1,32 m Afrika Selatan 4 Australopithecus boisei 2,5 – 1,7 juta tahun Afrika 5 Australopithecus robustus 2,2 – 1,6 juta tahun Afrika 6 Homo habilis 2,5 – 1,4 juta tahun 1,17 – 1,32 m Afrika 7 Homo erectus 1,8 – 300 ribu tahun 1,60 – 1,78 m Afrika, Asia, Eropa 8 Homo sapiens neanderthal 120 – 35 ribu tahun 1,55 – 1,65 m Eropa, Asia Tengah 9 Homo sapien cro-magnon 30 ribu tahun 1,60 – 1,75 m Prancis Berdasarkan hasil penelitian, fosil manusia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manusia primitif dan manusia modern. Fosil Australopithecus sp. dan Homo erectus merupakan jenis manusia primitif, sedangkan Homo sapiens merupakan jenis manusia modern. Manusia modern merupakan hasil evolusi dari manusia primitif, sedangkan manusia primitif sendiri merupakan hasil evolusi dari simpanse. Meganthropus palaeojavanicus merupakan manusia berukuran besar yang hidup di Jawa pada zaman kuno. Meganthropus mempunyai ciri berahang besar dan bergigi. Pakar Palaeontropologi, Prof. Dr. Teuku Jacob berpendapat bahwa Meganthropus melakukan evolusi adaptasi agar bisa tetap hidup di lingkungannya. Manusia primitif umumnya mempunyai ciri-ciri berjalan menggunakan empat kaki, kecuali Homo erectus yang mulai berjalan tegak menggunakan dua kaki, tengkorak lebih menyerupai kera, volume otak kecil 500– cc, dan belum mampu berbicara. Sementara itu, manusia modern sudah berjalan dengan dua kaki bipedal, volume otak lebih besar > cc, dapat berbicara, dan memiliki seni dan budaya. Demikianlah Materi MekanismeTerjadinya Evolusi, semoga bermanfaat.
Dalam suatu kehidupan, mahluk hidup telah mengalami evolusi. Evolusi berkaitan dengan proses dan peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu yang mengilustrasikan perkembangan bertahap dari perubahan dalam komposisi genetik populasi biologis selama beberapa generasi berturut-turut. Populasi berlangsung dalam proses yang membutuhkan waktu lama. Dua mekanisme utama yang mendorong evolusi adalah seleksi alam dan pergeseran genetik. Sehingga di dunia ini, alam juga melakukan seleksi terhadap organisme yang ada di dalamnya. Eleksi itulah yang kita kenal dnegan nama seleksi alam. Organisme yang lolos seleksi alam akan bertahan hidup dan mempertahankan spesiesnya sedangkan yang tidak lolos maka akan punah seperti misalnya dinosaurus, tentu di jaman sekarang sudah tidak ada lagi kehidupan dinosaurus tersebut. Seleksi alam adalah kelangsungan hidup dan reproduksi individu yang berbeda karena perbedaan fenotip. Ini adalah mekanisme utama evolusi, perubahan sifat-sifat yang diwariskan yang menjadi ciri khas suatu populasi dari generasi ke generasi. Charles Darwin mempopulerkan istilah “seleksi alam”, kontras dengan seleksi buatan, yang dalam pandangannya disengaja, sedangkan seleksi alam tidak. Seleksi alam bertindak atas fenotip, karakteristik organisme yang benar-benar berinteraksi dengan lingkungan, tetapi dasar genetik yang diwariskan dari fenotip apa pun yang memberi fenotipe keuntungan reproduksi mungkin menjadi lebih umum dalam suatu populasi. Seiring waktu, proses ini dapat menghasilkan populasi yang berspesialisasi untuk ceruk arti ekologi tertentu evolusi mikro dan pada akhirnya dapat menghasilkan spesiasi munculnya spesies baru, evolusi makro. Dengan kata lain, seleksi alam adalah proses kunci dalam evolusi suatu populasi. Seleksi alam adalah landasan arti biologi modern. Konsep yang diterbitkan oleh Darwin dan Alfred Russel Wallace dalam presentasi makalah pada tahun 1858, diuraikan dalam buku yang berjudul “On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life” pada tahun 1859. Dia menggambarkan seleksi alam sebagai analog dengan seleksi buatan, suatu proses di mana hewan dan tanaman yang dianggap diinginkan oleh manusia secara sistematis disukai untuk bisa bereproduksi lebih banyak. Konsep seleksi alam awalnya dikembangkan tanpa adanya teori hereditas yang valid; pada saat tulisan Darwin, sains belum mengembangkan teori genetika modern. Penyatuan evolusi Darwin tradisional dengan penemuan berikutnya dalam genetika klasik membentuk sintesis modern dari pertengahan abad ke-20. Penambahan genetika molekuler telah menyebabkan biologi perkembangan evolusioner, yang menjelaskan evolusi pada tingkat molekuler. Sementara genotipe perlahan dapat berubah oleh penyimpangan genetik acak, seleksi alam tetap menjadi penjelasan utama untuk evolusi adaptif. Pengertian Seleksi Alam Seleksi alam adalah kemampuan alam untuk dapat menyeleksi atau menyaring organisme yang hidup di dalamnya. Sehingga dalam hal ini hanya organisme yang mampu menyesuaikan diri yang dapat bertahan hidup sedangkan orgnisme yang tidak mampu menyesuiakan diri maka akan punah. Seleksi alam juga bisa diartikan sebagai proses dimana populasi organisme mampu beradaptasi dan mengalami evolusi atau berubah. Individu dengan sifat adaptif mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan lebih mungkin mampu bertahan dan berkembang biak. Seleksi alam dapat menyebabkan spesiasi, di mana satu spesies menimbulkan spesies baru dan berbeda. Hal ini merupakan salah satu proses yang mendorong evolusi dan membantu menjelaskan keragaman kehidupan di Bumi. Saat ini, tindakan manusia seperti perburuan dan perusakan habitat merupakan penyebab utama kepunahan. Dewasa ini nampaknya kepunahan terjadi pada tingkat yang jauh lebih cepat daripada yang terjadi di masa lalu. Pengertian Seleksi Alam Menurut Para Ahli Adapun definisi seleksi alam menurut para ahli, antara lain Biology Dictionary Seleksi alam adalah suatu proses di alam di mana organisme yang memiliki karakteristik genotip tertentu yang membuatnya lebih baik disesuaikan dengan lingkungan cenderung untuk bertahan hidup, bereproduksi, meningkat dalam jumlah atau frekuensi, dan karenanya, mampu mentransmisikan dan melestarikan kualitas genotipik esensial mereka untuk generasi selanjutnya. Ciri Seleksi Alam Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa seleksi alam merupakan kelangsungan hidup dan reproduksi individu yang berbeda karena perbedaan fenotip. Dalam genetika, fenotip dari suatu organisme adalah gabungan dari karakteristik atau sifat-sifat yang dapat diamati dari organisme tersebut. Istilah ini mencakup morfologi organisme atau bentuk dan struktur fisik, proses perkembangannya, sifat biokimia dan fisiologisnya, perilakunya, dan produk perilaku. Fenotip organisme dihasilkan dari dua faktor dasar ekspresi kode genetik organisme, atau genotipnya, dan pengaruh faktor lingkungan. Kedua faktor dapat berinteraksi, lebih lanjut mempengaruhi fenotipe. Ketika dua atau lebih fenotip yang berbeda jelas ada dalam populasi spesies yang sama, spesies tersebut disebut polimorfik. Macam Seleksi Alam dan Contohnya Berikut ini macam-macam seleksi alam, antara lain Seleksi Alam Stabilisasi Stabilizing Selection Seleksi alam stabilisasi merupakan seleksi alam terhadap sifat yang ekstrem, maka populasi mengalamai seleksi stabil yang menyebabkan penurunan variasi yang berada di sekitar nilai rata-rata. Misalnya, tinggi tanaman mungkin ditindaklanjuti dengan menstabilkan seleksi. Tanaman yang terlalu pendek mungkin tidak dapat bersaing dengan tanaman lain untuk mendapatkan sinar matahari. Namun, tanaman yang sangat tinggi mungkin lebih rentan terhadap kerusakan akibat angin. Gabungan, dua kekuatan seleksi ini memilih untuk mempertahankan tanaman dengan ketinggian sedang. Sedangkan jumlah tanaman dengan tinggi sedang akan meningkat sedangkan jumlah tanaman pendek dan tinggi akan berkurang. Contoh lain misanya ekor panjang dan ekor pendek keduanya tidak menguntungkan bagi tikus karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti halnya daya tarik pada lawan jenis, kemudahan gerak, kerugian karena pemangsa. Seleksi Alam Terarah Directional Selection Seleksi terarah merupakan pergeseran distribusi sifat ekstrem populasi atau nilai rata-rata sifat dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal seleksi semacam itu, rata-rata grafik populasi bergeser. Contohnya seleksi alam terarah misalnya bisa kita lihat pada pada rekaman fosil beruang hitam di Eropa yang menunjukkan bahwa ukuran beruang hitam di Eropa mengalami penurunan selama periode interglasial dari zaman es, tapi meningkat selama setiap periode glasial. Seleksi Alam Terganggu Disruptive Selection Seleksi alam disruptif meruakan seleksi alam yang terjadi jika faktor-faktor lingkungan mengambil sejumlah bentuk yang terpisah. Sebagai contoh, spesies tanaman tertentu dengan tinggi yang sangat bervariasi yang diserbuki oleh tiga penyerbuk yang berbeda, satu yang tertarik pada tanaman pendek, yang lain lebih suka tanaman dengan tinggi sedang dan sepertiga yang hanya mengunjungi tanaman tertinggi. Jika penyerbuk yang lebih suka tanaman dengan ketinggian sedang menghilang dari suatu daerah, tanaman dengan ketinggian sedang akan dipilih dan populasinya cenderung ke arah tanaman pendek dan tinggi, tetapi bukan tanaman tinggi sedang. Populasi seperti itu, di mana terdapat berbagai bentuk atau morf yang berbeda dikatakan polimorfik. Faktor Seleksi Alam Seleksi alam terjadi jika empat kondisi terpenuhi, yaitu reproduksi, keturunan, variasi karakteristik fisik dan variasi jumlah keturunan per individu. Secara lebih rinci adalah sebagai berikut Reproduksi Agar seleksi alam dapat bertindak atas populasi tertentu, populasi tersebut harus bereproduksi untuk menciptakan generasi baru. Selama beberapa generasi, individu dengan sifat yang paling cocok untuk lingkungan mereka cenderung untuk mereproduksi lebih banyak daripada yang tidak. Dengan demikian, seleksi alam berfungsi untuk memaksimalkan jumlah individu dengan sifat-sifat yang disukai sementara yang dengan sifat kurang menguntungkan perlahan-lahan mati. Semakin tinggi tingkat reproduksi suatu populasi, semakin tinggi tekanan persaingan pada individu untuk bertahan hidup. Tekanan ini memastikan bahwa hanya anggota yang paling cocok yang bertahan hidup sementara anggota yang lebih lemah binasa. Oleh karena itu, populasi akan segera menjadi penuh dengan anggota yang menunjukkan sifat-sifat yang memberikan kesempatan hidup yang lebih baik bagi spesies tersebut. Hereditas Hereditas bekerja bersama-sama dengan reproduksi karena gen-gen dari orang tua bergabung untuk menciptakan gen keturunan mereka. Orang tua dengan sifat-sifat yang menguntungkan harus meneruskan sifat-sifat itu kepada keturunannya agar seleksi alam dapat bertindak. Jika tidak, gen yang menciptakan sifat menguntungkan akan mati bersama orang tua tanpa disalin ke generasi berikutnya. Spesiasi terjadi ketika anggota suatu spesies secara geografis terisolasi ke dalam lingkungan yang berbeda, memungkinkan untuk garis keturunan yang tidak terkait. Seiring waktu, sifat-sifat pada setiap populasi mulai berbeda agar lebih sesuai dengan mereka untuk lingkungan yang berbeda. Gen menguntungkan untuk satu lingkungan mulai berbeda dari gen untuk lingkungan yang berbeda dan kedua populasi mulai menyimpang. Dengan waktu yang cukup, jumlah perbedaan di antara populasi bisa menjadi begitu besar sehingga mereka tidak bisa kawin lagi. Variasi dalam Karakteristik Seleksi alam hanya dapat terjadi dalam suatu populasi ketika anggota populasi memiliki variasi dalam sifat-sifat individu. Sebagai contoh, sebuah studi seleksi alam pada warna dalam suatu populasi membutuhkan individu yang berbeda untuk memiliki warna yang bervariasi. Tanpa variasi karakteristik, tidak ada sifat bagi alam untuk “memilih” daripada yang lain. Variasi dalam Kebugaran Dalam biologi, kebugaran memiliki makna yang lebih teknis daripada definisi umumnya. Dalam konteks evolusi, kebugaran adalah kemampuan suatu organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi sebanyak mungkin. Memvariasikan tingkat kebugaran anggota populasi merupakan prasyarat untuk terjadinya seleksi alam. Beberapa individu harus memiliki sifat yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup lebih baik dan bereproduksi lebih sering daripada yang lain. Jika tidak, seleksi alam tidak dapat bertindak untuk menghasilkan lebih banyak individu dengan sifat menguntungkan dan lebih sedikit dengan sifat kurang bermanfaat. Dampak Seleksi Alam Dampak yang dapat ditimbulkan karena seleksi alam, antara lain Menyebabkan kepunahan Seleksi alam dapat menyebabkan kepunahan sebab spesies tidak mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, baik akibat faktor alami maupun akibat ulah manusia seperti kegiatan perburuan dan alasan lainnya. Contoh hewan yang telah punah di Indonesia misalnya Harimau Jawa dan Hariamau Bali. Menghasilkan spesies baru Meskipun seleksi alam menyebabkan suatu spesies tertentu punah, di sisi lain peristiwa ini juga menghasilkan spesies baru, karena mendorong suatu organisme untuk beradaptasi dengan lingkungannya agar bisa bertahan hidup. Contoh spesies hewan baru yang ditemukan di Indonesia misalnya; Katak Megophrys lancip Cicak Cyrtodactylus tanahjampea Burung Myzomela irianawidodoae Nah, itulah tadi penjelasan serta pengulasan yang bisa diberikan kepada segenap pembaca terkait dengan pengertian seleksi alam menurut para ahli, ciri, macam, faktor, dampak, dan contoh-contohnya. Semoga melalui artikel ini memberikan referensi. Trimakasih, Referensi Tulisan Natural selection dari Natural Selection dari
mekanisme seleksi alam tidak selalu berjalan karena